Masjid di kompleks kami punya seorang tenaga kerja harian, pak Sarip
namanya. Beliau penduduk kampung sebelah yang sehari-hari bekerja
sebagai tukang sampah. Masjid lalu mengupah pak Sarip untuk membersihkan
kamar mandi, tempat wudhu dan jalanan disekitar diluar jam kerjanya
sebagai tukang sampah, biasanya beliau hadir setiap maghrib dan shubuh.
Hampir setiap shubuh saya selalu bertemu dengan pak Sarip yang sedang
mengepel lantai teras, menyapu jalanan, membersihkan kamar mandi dan
tempat wudhu. Namun selain itu beliau adalah jamaah yang rajin, selalu
ikut shalat berjamaah. Hebatnya masih sempat berganti baju yang rapi,
lengkap dengan kopiah dan sarung. Setiap pengajian dan ceramah pak Sarip
juga hadir, kadang-kadang ikut mengajukan pertanyaan dengan bahasa yang
sering mengundang tawa, jauh dari kedalaman intelektual. Tidak jarang
pula ketika tiba saatnya waktu shalat dan kebetulan tidak ada orang yang
adzan, pak Sarip-lah yang melantunkan adzan, dan lagi-lagi dengan
lafadz yang tidak begitu sempurna.
Tidak sulit untuk membaca keadilan Allah dalam urusan ini. Seandainya
surga disediakan hanya untuk orang beriman yang pintar, banyak membaca
buku, ilmu yang dalam, menguasai bahasa Arab, punya banyak referensi
kitab para mufassir, tidak lupa dilengkapi dengan kajian orientalis,
maka tidak ada tempat buat pak Sarip di surga. Namun surga disediakan
bagi orang yang bertaqwa, dengan tingkat dan kemampuan berpikirnya
masing-masing bisa merasakan takut dan tunduk kepada Allah, lalu
mengerjakan semua perintah dan menghindari semua larangan atas dasar
rasa takut dan tunduk tersebut. Surga disediakan buat orang yang punya
koneksi dengan Allah sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezeki (nikmat) yang mulia. (al-Anfaal 2-4)
Sebaliknya banyak kita temukan manusia yang justru dengan ilmu yang
dimiliki malah ‘petantang-petenteng’, menganggap dirinya punya ilmu yang
cukup untuk ‘mensortir’ ketetapan-ketetapan Allah, mana yang dipakai
dan mana yang harus dibuang. Ilmu pengetahuan yang dimiliki justru
menghasilkan sikap yang berlawanan dari yang seharusnya.
Diwaktu shalat dhuhur dan ‘ashar, saya juga sering bertemu dengan tukang
baso, tukang odong-odong, siomay, sopir taksi, yang kelihatannya memang
sengaja mencocokan jalur kelilingnya untuk tepat berada disekitar
masjid ketika waktu shalat sudah datang. Merekalah yang menjadi jamaah
kami, memenuhi shaf untuk shalat wajib tersebut. Ini kelihatannya sudah
menjadi sesuatu hal yang rutin bagi mereka karena saya sampai hapal
orangnya, sering bertemu dan kadang bertegur-sapa. Bagi orang-orang ini,
mencari nafkah selalu disinkronkan dengan menunaikan kewajiban ibadah,
tidak ada yang salah satunya harus dikorbankan. Sebenarnya banyak alasan
yang bisa dikemukakan oleh mereka untuk tidak melakukan shalat tepat
waktu berjamaah di masjid, seperti juga banyak alasan yang bisa
dikemukakan oleh semua orang, namun ternyata itu tidak dilakukan. Sulit
juga untuk menemukan motivasi lain mengapa mereka melakukan hal ini
dengan konsisten, kecuali hanya karena adanya ketundukan dan kepatuhan
kepada Allah.
Bagaimana dengan anda sendiri..?? Berapa kali anda mengorbankan shalat
wajib tepat waktu dan berjamaah dimasjid atau musholla disekitar anda
karena merasa tanggung meeting anda belum selesai..?? Berapa kali anda
memutuskan untuk shalat dirumah saja karena masing ‘menggantung’
mengetik tulisan, khawatir inspirasi yang sudah terkumpul dalam kepala
bakalan lenyap. Mungkin secara lahiriah, kita berpenampilan mentereng,
berpakaian rapi lengkap dengan jas dan dasi, punya harta kekayaan yang
cukup, sehingga membuat orang-orang ‘minder’ ketika berdekatan dengan
kita, namun dibandingkan dengan tukang odong-odong dan tukang siomay
yang saya sebutkan, nilai kita sebenarnya tidak ada apa-apanya.
Kemakmuran dan kesejahteraan yang kita miliki malah membuat kita
‘petentang-petenteng’ dihadapan Allah, tidak membuat kita tunduk dan
patuh, tidak berusaha mensingkronkan kegiatan sehari-hari dengan
kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Bagi orang seperti ini, Allah
mengingatkan dalam Al-Qur’an :
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (Hud 15-16)
Anda mencari kemahsyuran dunia..?? tentu saja Allah akan mengabulkan
keinginan anda tersebut. Anda berkerja mati-matian untuk mempesonakan
orang lain..?? tentu saja itu akan anda dapatkan karena memang banyak
manusia yang mempunyai pikiran seperti anda, apa yang anda banggakan
memang itu yang selama ini mereka dambakan. Al-Qur’an jelas menyatakan
‘Kami berikan balasan pekerjaan mereka di dunia DENGAN SEMPURNA’,
kemahsyuran dan kesejahteraan anda dapatkan, pengakuan dari manusia
lainpun akan diperoleh, kurang apalagi..??
Namun Allah mengingatkan, kalau tujuan kita hanya sebatas dunia saja,
maka sebatas itu pula kenikmatan tersebut akan didapat, selebihnya
semuanya akan lenyap. Kemahsyuran dan kesejahteraan akan berhenti saat
dunia sudah lenyap, kekaguman orang lainpun juga hilang tidak berbekas.
Setelah itu giliran tukang odong-odong dan tukang siomay yang akan
mendapatkannya. Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud mengajak anda
untuk berpindah profesi menjadi tukang odong-odong atau tukang becak,
sopir taksi, tukang baso, agar bisa kelak masuk surga. Pelajaran yang
bisa kita ambil dari mereka adalah, apapun pekerjaan dan kegiatan yang
kita lakukan, selalu dicantelkan dengan aspek ukhrawinya, dalam satu
kegiatan selalu mengandung 2 dimensi, dunia dan akhirat. Bahkan untuk
urusan dunia yang tidak bakalan dihitung diakhirat malah tidak perlu
digubris, semacam pengharapan akan adanya pengakuan dan kekaguman orang
lain, itu sama sekali tidak berguna.
Rasulullah bahkan menyatakan orang yang mampu menggabungkan kedua hal ini sebagai umatnya yang cerdas :
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang
lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah
orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling baik
akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang
paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati,
kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah
orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy.
Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata : hadits hasan)
Mengingat semua pelajaran ini, ketika saya bersalaman dengan pak Sarip
selesai shalat shubuh bersama-sama, saya membungkukkan diri dalam-dalam,
menyatakan pengakuan bahwa dia jauh lebih mulia dari saya…
Sumber: hikmah.muslim-menjawab.com/
Tes Komentar
ReplyDelete